Selasa, Agustus 18, 2009

'Saya' Lebih Melankolis Dibanding 'Aku'

Membicarakan suatu karya, ternyata tak lepas juga dari sang penulis. Setidaknya, dari karya itu tercermin bagaimana sebenarnya sosok penulisnya. Hal ini bisa diperdebatkan, tapi yang jelas memang berkaitan erat.

Seperti saat berlangsung Bedah Buku Kumpulan Cerpen "Kincir Api" karya Kurnia Effendi, yang setebal 164 halaman di Galeri Gudeg Kota Seni, Citra Raya, Tangerang, 10 Desember 2006 lalu. Acara yang merupakan kerjasama Galeri Gudeg dengan Komunitas Sastra indonesia ini menampilkan Zen Hae (Ketua Komita Sastra, Dewan Kesenian Jakarta) dan Mustafa Ismail (wartawan budaya Koran Tempo) sebagai pembicara. Acara yang dibuka oleh Wowok Hesti Prabowo ini dipandu oleh Binhad Nurrohmat. Rara Gendis tampil apik membacakan "Lagu Jauh", yang oleh Zen Hae dikomentari sebagai cerpen yang berhasil mengaduk-aduk perasaan seorang gadis yang juga narator cerita ini. Selain keterkaitan karya dengan penulisnya, dalam diskusi ini kedua pembahas juga menyoroti dimana kekuatan Kef, panggilan akrab Kurnia Effendi. Dalam cerita pendek yang telah melambungkan namanya sebagai salah satu cerpenis papan atas saat ini? Keduanya berpendapat serupa tentang hal ini.

Menurut Zen Hae, Kef bisa dengan efektif mempermainkan psikologi tokoh-tokohnya, meski ceritanya sendiri biasa-biasa saja. Ia membiarakna tokoh-tokohnya terperangkap para persoalan masing-masing, yang tidak selesai. Tidak ada kepastian masa depan untuk tokoh-tokohnya--dan memang tidak perlu ada.

Tidak jauh berbeda, Mustafa juga menilai, dalam "Kinci Api", Kef mampu mendiskripsikan adegan demi adegan dengan manis, termasuk perihak seks yang digambarkan sangat simbolik namun langsung tergambar di kepala pembaca, ia juga menyuguhkan kejutan. Tba-tiba, ketika si aku sedang berdua dengan si penari (cerpen Sang Penari), sang penari lalu menelpon isterinya.

Semula, lanjut Mustafa, orang mengira penari menelpon untuk mengatakan bahwa si aku bersamanya, rupanya tidak. Sang penari mengajak isteri aku untuk makan malam. "Kurnia menyajikan sebuah adegan yang mendebarkan," ujar Mustafa yang juga cerpenis.

Kef sendiri, yang seperti biasa tampil sederhana dan penuh senyum, menjawab pertanyaan dari peminat sastra dalam diskusi ini mengatakan, saya ini penulis yang tak bisa menulis dengan vulgar. "Betapa miskinnya saya jika menulis dengan kata-kata vulgar. Karena itu, saya mencari padanan, ang mungkin multi tafsir. Dan saya selalu ingat, cerpen saat dimuat di koran, dibaca juga oleh banyak kalangan, termasuk anak-anak".

Lalu apa sisi lain dari Kef? Adri Darmadji Woko, yang pernah menjadi redaktur sebuah majalah remaja dan juri saat Kef masih remaja dan cerpennya menjadi juara pertama, bertutur bahwa Kef sejak kecil memang dekat dengan ibunya. Kedekatan ini juga banyak tercermin dari cerpen-cerpen Kef.

Tak terasa bedah buku ini berjalan lebih dari dua jam. Di penghunung acara, Kef membacakan "Kincir Api".
yang menganggap bahwa "Saya" lebih melankolis dibandingkan "Aku".

Kef, tentu bukan hanya itu. Guliran cerita pendekmu toh juga melankolis, meski ada yang kau biarkan menggantung, juga keperihan yang diam.
apa kabar blog..............?